Hidayatullah II | |||||
---|---|---|---|---|---|
Sultan Hidajat-Oellah Halil-Illah (ejaan Belanda) | |||||
Sultan Banjar XV | |||||
Berkuasa | September 1859 – 2 Maret 1862 | ||||
Penobatan | September 1859 di Banua Lima | ||||
Pendahulu | Tamjidullah II | ||||
Penerus | Panembahan Amiruddin | ||||
Mangkubumi Banjar | |||||
Berkuasa | 9 Oktober 1856 – 5 Februari 1860 | ||||
Penobatan | 9 Oktober 1856 | ||||
Informasi pribadi | |||||
Kelahiran | Gusti Andarun 1822 Martapura, Kesultanan Banjar | ||||
Kematian | 24 November 1904 Cianjur, Karesidenan Parahyangan, Hindia Belanda | (umur 81–82)||||
Pemakaman | Sawah Gede, Cianjur | ||||
Wangsa | Wangsa Banjar | ||||
| |||||
Ayah | Sultan Muda Abdur Rahman | ||||
Ibu | Ratu Siti Mariama binti Nyai Intan binti Alooh Oengka binti Kiai Adipati Singasari)[2][3]/Nyai Intan adalah istri Goesti Koesin Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangkoe Boemi Nata | ||||
Pasangan | 1 ♀ Permaisuri Ratu Mas Bandara
2 ♀ Ratu Mas Ratna Kediri 3 ♀ Ratu Siti Aer Mas (Goestie Sitie Ayer Maas) binti Pangeran Tahhmid bin Sultan Sulaiman dari Banjar 4 ♀ Nyai Arpiah 5 ♀ Nyai Rahamah 6 ♀ Nyai Umpay 7 ♀ Nyai Putih 8 ♀ Nyai Jamedah 9 ♀ Nyai Ampit 10 ♀ Nyai Semarang 11 ♀ Nyai Noerain 12 ♀ Nyai Ratoe Etjeuh Zuriat Wira Tanu I Raden Aria Wiratanu Datar atau Eyang Dalem Cikundul, Murid Sunan Gunung Jati[4][5] | ||||
Anak | 1 ♂ Pangeran Sasra Kasuma/Sasra Kasuma anak Nyai Noerain lahir di Banjar
2 ♂ Pangeran Abdul Rahman anak dari Ratu Mas Ratna Kediri melahirkan Pangeran Abdul Majid 3 ♂ Gusti Muhammad Saleh anak dari Nyai Arpiah ia Menikahi Ratu Sari melahirkan Pangeran Abdul Manaf 4 ♀ Putri Bulan anak dari Ratu Siti Aer Mas menikahi ♂ Pangeran Amin bin SULTAN BANJAR ♂ Pangeran Ratu Sultan Tamjidillah II al-Watsiq Billah 5 Putri Bintang anak dari Ratu Mas Bandara menikahi ♂ Pangeran Abdul Karim bin SULTAN BANJAR Tamjidillah II melahirkan Pangeran sulaiman 6 ♀ Ratu Salamah anak dari Ratu Siti Aer Mas lahir di banjar Menikahi ♂ Pangeran Kesoema Indra bin Pangeran Kassir bin Sultan Sulaiman dari Banjar melahirkan ♂ Pangeran Mohhamad Hanafia 7 ♀ Ratu Saleha anak dari Nyai Rahamah lahir di banjar menikahi ♂ Pangeran Mohhamad Ali Bassa (Goesti Isa bin Goesti Sopie ) melahirkan ♀ Ratu Halimah 8 ♀ Ratu Sari Banun anak dari Nyai Rahamah (Gusti Serie Banun Menikahi Pangeran Muhammad Illah Wirakusuma III dari Banjar melahirkan ♂ Pangeran Abdullah berputra Pangeran Dawud 9 ♀ Ratu Ratna Wandari/Ratu Syarifah Rattena Wandarie Menikahi Pangeran Syarif Abu bakar melahirkan Pangeran Syarif abdulah,Pangeran Syarif abdurahman
10 Pangeran Amarullah/Amrullah anak dari Nyai Ratoe Etjeuh Zuriat Wira Tanu I Raden Aria Wiratanu Datar atau Eyang Dalem Cikundul, Murid Sunan Gunung Jati melahirkan Ratu Kusuma Sari 11 Pangeran Muhammad Alibasah anak dari Nyai Ratoe Etjeuh Zuriat Wira Tanu I Raden Aria Wiratanu Datar atau Eyang Dalem Cikundul, Murid Sunan Gunung Jati | ||||
Agama | Islam Sunni |
Sultan Hidayatullah II, terlahir dengan nama Gusti Andarun, dengan gelar mangkubumi Pangeran Hidayatullah kemudian bergelar Sultan Hidayatullah Halil Illah (lahir di Martapura, 1822 – meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun), adalah pemimpin Kesultanan Banjar yang memerintah antara tahun 1859 sampai 1862.[2][6] Ia dikenal sebagai salah seorang tokoh pemimpin Perang Banjar melawan pemerintahan Hindia Belanda.[7][8][9]
Terlahir sebagai anak dari Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, Gusti Andarun merupakan kandidat utama pewaris takhta Kesultanan Banjar untuk menggantikan kakeknya Sultan Adam, namun posisi tersebut malah diisi oleh kakak tirinya Tamjidullah II yang mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda.[10] Peristiwa ini menimbulkan perpecahan di lingkungan keluarga bangsawan Banjar dan masyarakat, dimana terdapat kubu pendukung Tamjidullah yang dekat dengan Belanda dan kubu pendukung Gusti Andarun yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda tersebut.[2] Untuk meredam ketegangan tersebut, di tahun 1856 pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkat Gusti Andarun sebagai mangkubumi (kepala pemerintahan) Banjar dengan gelar Pangeran Hidayatullah.[11][12]
Pengangkatan tersebut ternyata tidak bisa meredakan ketegangan antara keluarga bangsawan, masyarakat, dan pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan ini pun menjadi pemicu dimulainya Perang Banjar, dimana pada 18 April 1859, pasukan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara Oranje-Nassau di Pengaron.[13][14] Pemerintah kolonial lalu memakzulkan Tamjidullah dan mencoba menobatkan Hidayatullah sebagai sultan, namun Hidayatullah menolak tawaran tersebut. Ia sendiri dinobatkan oleh para panglima Banjar menjadi sultan pada September 1859, dengan gelar Sultan Hidayatullah Halil Illah.[15][16]
Ia memimpin Perang Banjar sampai di tahun 1862, ketika ia dan keluarganya berhasil ditangkap oleh pihak Hindia Belanda.[17] Sultan Hidayatullah beserta keluarga dan sebagian pengikutnya lalu diasingkan ke Cianjur, dimana ia menghabiskan sisa hidupnya disana sampai ia wafat di tahun 1904.[18] Atas sikapnya yang anti-imperialis dan kepemimpinannya dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Banjar, di tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkannya Bintang Mahaputera Utama.[19]