Artikel biografi ini ditulis menyerupai resume atau daftar riwayat hidup (Curriculum Vitae). |
Arsul Sani | |
---|---|
Hakim Konstitusi Republik Indonesia | |
Mulai menjabat 18 Januari 2024 | |
Ditunjuk oleh | DPR RI |
Presiden | Joko Widodo |
Pengganti Petahana | |
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia | |
Masa jabatan 3 Oktober 2019 – 18 Januari 2024 Menjabat bersama | |
Presiden | Joko Widodo |
Ketua MPR | Bambang Soesatyo |
Pendahulu | |
Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan | |
Masa jabatan 20 Mei 2016 – 5 Januari 2021 | |
Ketua Umum | Muhammad Romahurmuziy Suharso Monoarfa |
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia | |
Masa jabatan 1 Oktober 2014 – 18 Januari 2024 | |
Daerah pemilihan | Jawa Tengah X |
Informasi pribadi | |
Lahir | 8 Januari 1964 Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia |
Partai politik | PKS (2008–2013) PPP (2013–2024) |
Suami/istri | Sukma Violetta |
Anak | 3 |
Almamater | Universitas Indonesia STIKOM The London School of Public Relations Collegium Humanum – Warsaw Management University |
Profesi | Hakim Konstitusi |
Tanda tangan | |
Sunting kotak info • L • B |
H. Arsul Sani, S.H., M.Si., Pr.M., LL.D. (lahir 8 Januari 1964) adalah seorang Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dilantik pada 18 Januari 2024.[1][2] Sebelumnya, Arsul merupakan politikus yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Beliau sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia periode 2019-2024. Beliau juga sempat duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dua periode sejak 2014 hingga 2024 yang mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah X yang meliputi Batang, Pekalongan, Pemalang dan Kota Pekalongan. Arsul bertugas di Komisi III yang membidangi hukum, hak asasi manusia (HAM) dan keamanan serta ia juga menjadi anggota Badan Legislasi DPR. Selain itu, Arsul adalah Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan sejak 20 Mei 2016, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Romahurmuziy.[3]
Melalui kursinya di Komisi III DPR, Arsul terlibat dalam upaya pelarangan ilmu hitam, sebuah langkah yang terbukti sulit sejak tahun 1990-an karena pelarangan ilmu hitam mengharuskan pemerintah untuk mengakui keberadaannya.[4] Arsul juga mengomentari kontroversi seputar aksi di Jakarta pada bulan November 2016, mempertanyakan mengapa polisi menyelidiki secara finansial beberapa pendukung protes tetapi tidak menyelidiki pendukung keuangan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.[5]