Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Kesultanan Banjar كسلطانن بنجر | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1526–1905 Direstorasi sejak 2010[1] | |||||||||
Status |
| ||||||||
Ibu kota |
| ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Banjar (resmi), Melayu, Dayak (termasuk Ngaju, Ot Danum, Meratus, Ma'anyan, dan sejenisnya), Kutai. | ||||||||
Agama | Islam Sunni (resmi)[4] Kaharingan Konghucu Kekristenan | ||||||||
Pemerintahan | Monarki Kesultanan berbasis mandala | ||||||||
Sultan | |||||||||
• 1526–1540 | Suriansyah (pertama) | ||||||||
• 1862–1905 | Muhammad Seman (berdaulat terakhir) | ||||||||
• 2010–sekarang | al-Mu'tashim Billah (restorasi 2010) | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Pelantikan Suriansyah dari Banjar | 1526 | ||||||||
• Perang Saudara Banjar | 1663–1679 | ||||||||
• Perjanjian Karang Intan | 1826[5] | ||||||||
1859–1905 | |||||||||
• Kematian Sultan Muhammad Seman | 1905 | ||||||||
• Akhir Kesultanan Didirikan kembali (tanpa kekuasaan) | 1905 Direstorasi sejak 2010[1] | ||||||||
Luas | |||||||||
1700-an | 31.911.149 km2 (12.320.964 sq mi) | ||||||||
Situs web resmi kesultananbanjar | |||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | ![]() | ||||||||
Kesultanan Banjar (Jawi: كسلطانن بنجر) adalah sebuah negara-bangsa Banjar berbentuk kesultanan Islam di Kalimantan yang didirikan pada tahun 1526 dan berdiri hingga pembubarannya pada 1860 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan keruntuhannya pada tahun 1905.[6][7][8][9][10] Kesultanan Banjar dipulihkan kembali pada restorasi tahun 2010, namun tanpa kekuatan politik.[11][12][13][14]
Ketika beribu kota di Kayu Tangi, Kesultanan ini disebut sebagai "Kerajaan Kayu Tangi". Setelah perang saudara panjang yang meruntuhkan Negara Daha, Suriansyah dari Banjar (m. 1526–1540) keluar sebagai pemenang dan menobatkan dirinya sebagai Sultan Banjar pertama, dan mendirikan kesultanan Banjar dengan ibukota di Kuin. Segera setelah stabilisasi negara baru, ia memerintahkan eskpansi besar-besaran hingga ke Sambas dan Kepulauan Sulu. Wilayah yang luas dipertahankan oleh putranya, Rahmatullah dari Banjar (m. 1540–1570).[15]
Meskipun kehilangan sejumlah wilayah, pemerintahan Mustain Billah dari Banjar (m. 1595–1642)[15] merupakan puncak kejayaan Banjar dengan berkembangnya perdagangan lada dan dominasi Banjar atas laut-laut di sekitarnya, yang menjadi titik strategis perdagangan dari Selat Malaka dan Brunei ke Gowa dan Maluku. Pada akhir pemerintahannya, Mustain Billah menghadapi konflik dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang berujung kepada serangan terhadap Banjarmasin yang gagal pada tahun 1633. Serangan VOC yang gagal ini memperkuat posisi Mustain Billah dan konflik berlangsung selama pemerintahan putranya, Inayatullah dari Banjar (m. 1642–1645). Pada akhirnya, Belanda setuju untuk menandatangai perjanjian damai pada masa pemerintahan Rakyatullah dari Banjar (m. 1660–1663).
Sejak tahun 1663 sampai 1679, terjadi perang saudara antara Sultan Agung dari Banjar (m. 1663–1679) yang berbasis di Banjarmasin dan Tahlilullah dari Banjar (m. 1663–1679; 1679–1708) yang berbasis di Batang Alai. Dukungan Belanda terhadap Tahlilullah dan kemenangan Tahlilullah pada penyerbuan ke Banjar pada tahun 1679 memberikan VOC lebih banyak wewenang ekonomi dan perlahan mendominasi Banjar. Setelah perluasan dan negosiasi panjang, Tamjidillah I dari Banjar (m. 1734–1759) dan menantunya, Muhammad dari Banjar (m. 1759–1761) berhasil memulihkan sebagian besar wilayah Banjar. Tahmidullah II dari Banjar (m. 1761–1801) berhasil mengurangi pengaruh VOC di Banjar, meskipun ia kembali menyerahkan banyak wilayah kepada VOC, wilayah-wilayah ini kembali dikuasai oleh Banjar pada masa Sulaiman dari Banjar (m. 1801–1825). Kesultanan Banjar kemudian menjadi protektorat Belanda pada pemerintahan Adam dari Banjar (m. 1825–1857), dan pengaruh sultan ditekan.
Krisis suksesi Adam dari Banjar, dan pengangkatan Tamjidillah II dari Banjar (m. 1857–1859) secara sepihak oleh Belanda menyebabkan meletusnya Perang Banjar, di mana pasukan oposisi yang mendukung Sultan Hidayatullah II dari Banjar (m. 1859–1862) berhasil memenangkan pertarungan suksesi. Belanda yang tidak terima membubarkan Kesultanan pada tahun 1960 dan mengasingkan Hidayatullah II ke Cianjur. Pangeran Antasari (m. 1862) dilantik sebagai Sultan Banjar memimpin perlawanan sebelum akhirnya meninggal dunia karena cacar. Muhammad Seman (m. 1862–1905) memimpin pemerintahan terasing di Puruk Cahu sebelum terbunuh pada tahun 1905, menandai kerutuhan dari Kesultanan Banjar.[15] Pada tahun 2010, Kesultanan Banjar kembali dipulihkan dengan penobatan Khairul Saleh sebagai Sultan Banjar dengan nama "al-Mu'tashim Billah".
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan