Tengku Alamuddin | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Yang Dipertuan Besar Siak Sultan Alamuddin ibni Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah | |||||||||
Sultan Siak Sri Indrapura ke-4 | |||||||||
Berkuasa | 1761 – 1766 | ||||||||
Pendahulu | Sultan Ismail | ||||||||
Penerus | Sultan Muhammad Ali | ||||||||
Kelahiran | Raja Alam | ||||||||
Kematian | Pekanbaru, Riau | ||||||||
Pemakaman | Makam Marhum Pekan, Senapelan | ||||||||
Pasangan | Sultanah Khodijah binti Daeng Perani dan lainnya | ||||||||
Keturunan |
| ||||||||
| |||||||||
Dinasti | Parameswara | ||||||||
Ayah | Raja Kecik | ||||||||
Agama | Islam Ahlussunah Waljama'ah |
Tengku Alamuddin atau Raja Alam merupakan sultan Siak ke 4 (1761-1766) yang naik tahta setelah menggantikan keponakannya, Sultan Ismail bin Tengku Buwang Asmara dengan gelar penabalan: Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.
Beliau dikenal sebagai sultan yang banyak melakukan reformasi di dalam struktur pemerintahan Kesultanan Siak, khususnya memadukan antara pemerintahan dengan agama dan budaya.
Dalam upaya ini, diantaranya beliau menjadikan dua orang Sayyid sebagai menantu, yakni putri beliau Tengku Hawi dinikahkah dengan Sayyid Syech Al Jufri dari Jambi, sementara putri bungsunya Tengku Embung Badariyah dinikahkah dengan Sayyid Usman Syahabuddin, seorang ulama, sufi, sekaligus ahli militer.
KITAB “HIDĀYATUL ‘AWĀM PADA MENYATAKAN PERINTAH AGAMA ISLAM”KARYA MUḤAMMAD ‘ALWĪ IBN ‘ABDULLĀH KHAṬĪB ENDAH AL-KAMFĀRI.
Habib Muhammad bin Umar Al-Qudsi Al-Hasani Jakarta, Sayyid Abdullah bin Muhammad bin Umar Al-Qudsi Al-Hasani Pekanbaru dan Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar Al-Qudsi Al-Hasani Terengganu, Jaringan keagamaan tersambung dengan ulama-ulama di sekitar Mesir dan Palestina. Hal ini ditandai dengan rujukan kepada Shaikh Muḥammad al-Khalīlī yang berasal dari kota Quds, Palestina. Jaringan ini mengingatkan kita pada salah seorang ulama yang datang pada masa Sultan Alamuddin (1761-1780) memerintah di “Pekanbaru”, yakni Sayyid Abdullah al-Qudsi. Selain tarikat Qadiriyah yang dianut oleh Shaikh Muḥammad al-Khalīlī, daerah Mesir dan sekitarnya merupakan tempat yang subur untuk perkembangan tarikat Shadhiliyah melalui Abū al-‘Abbās al-Mursī (w. 686 H/1287 M).